Fikih Silaturahmi (Bag. 4): Sarana Menyambung Silaturahmi
Baca pembahasan sebelumnya Keutamaan Menyambung dan Bahaya Memutus Silaturahmi
Silaturahmi dengan kerabat tidak terbatas pada kunjungan ataupun membantu dengan materi. Silaturahmi dengan kerabat memiliki berbagai macam cara dan sarana. Dan tentunya, semua itu ditakar sesuai kemampuan yang dimiliki, antara satu orang dengan yang lainnya tentu saja memiliki cara yang berbeda-beda. Islam sebagai agama yang mudah dan memudahkan sudah mengajarkan kepada kita berbagai sarana dan cara untuk menjalin silaturahmi dengan kerabat dekat kita.
Di dalam kitab Shillatu Ar-Rahmi karya Fahd Bin Sarayyi’ An-Nughaimisyi disebutkan bahwa sarana menyambung silaturahmi ada 3 macam:
Pertama: Menyambung silaturahmi dengan perbuatan.
Kedua: Menyambung silaturahmi dengan ucapan.
Ketiga: Dan menyambung silaturahmi dengan mengeluarkan harta.
Menyambung silaturahmi dengan perbuatan
Pertama: Mengunjungi kerabat sebagai penghormatan dan penghiburan untuknya. Perbuatan ini termasuk sarana terpenting di dalam menyambung silaturahmi karena semua orang, baik yang berkecukupan maupun tidak, sama-sama bisa melakukannya.
Mengunjungi kerabat lebih ditekankan lagi ketika yang ingin kita kunjungi merupakan orang yang sudah lanjut usia, karena seringkali mereka merasa kesepian dan terasingkan. Saat ada kerabat yang mengunjunginya, mereka akan merasa bahagia dan bergembira serta terhibur dengan cerita mereka. Dalil akan hal ini adalah hadis Asma’ binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anha,
فلمَّا دخَلَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وعلى آلِهِ وسلَّمَ مكَّةَ، ودخَلَ المسجِدَ، أتاهُ أبو بكرٍ بأبيه يَعودُهُ، فلمَّا رآهُ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وعلى آلِهِ وسلَّمَ قال: هلَّا ترَكْتَ الشَّيخَ في بيتِه؛ حتَّى أكونَ أنا آتِيَهُ فيه؟
“Ketika Rasulullah memasuki kota Mekah kemudian masuk ke dalam masjid, beliau didatangi oleh Abu Bakar dan bapaknya dengan niatan untuk mengunjunginya. Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat bapaknya tersebut, beliau bersabda, ‘Alangkah baiknya Engkau tinggalkan orang tuamu (yang sudah lanjut usia) di rumahnya, sehingga aku bisa mengunjunginya di rumahnya.’” (HR. Ahmad no. 26956 dan Ibnu Hibban no. 7208)
Hadis ini menunjukkan semangat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengunjungi bapak dari sahabatnya dan kekasihnya Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, bahkan nabi sudah berniat untuk melakukannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah menjelaskan bahwa keberkahan itu berkaitan erat dengan mereka yang sudah lanjut usia. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
البَرَكةُ مع أكابِرِكم
“Keberkahan beserta dengan orang senior (orang yang lebih tua) di antara kalian.” (HR. Ibnu Hibban no. 559 dan Thabrani di dalam Al-Mu’jamul Ausath no. 8991)
Kedua: Menyambungnya dengan memenuhi undangan. Yaitu undangan makan dan minum yang terdapat di setiap walimah, baik itu merayakan pernikahan, syukuran rumah baru, ataupun undangan-undangan lainnya. Selain merupakan sarana silaturahmi, memenuhi undangan juga merupakan salah satu hak seorang muslim atas muslim lainnya. Lebih ditekankan lagi ketika yang mengundang adalah kerabat dekat kita.
Syariat Islam sangatlah menganjurkan umatnya untuk memenuhi undangan. Banyak sekali hadis yang menujukkan hal tersebut, di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إلى الوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا
“Jika kalian diundang untuk menghadiri walimah maka penuhilah.” (HR. Bukhari no. 5173 dan Muslim no. 1429)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,
ومن ترَك الدَّعوةَ فقد عصى اللَّهَ ورسولَه
“Dan barangsiapa yang tidak memenuhi undangan, maka ia telah berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 1432)
Ketiga: Menyambung silaturahmi dengan menjenguknya ketika sakit. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
“Dan termasuk dari iyadah al-maridh (menjenguk orang sakit), mengawasinya serta mengecek kondisinya dan berlemah lembut kepadanya. Bisa jadi, dengan sebab perhatian kita kepadanya akan membuatnya bersemangat dan sehat bugar kembali.”
Menjenguk orang sakit juga termasuk hak-hak kaum muslimin. Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ: رَدُّ السَّلاَمِ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ، وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ، وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ
“Hak muslim atas muslim lainnya ada lima, yaitu: menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan orang yang bersin.” (HR. Bukhari no. 1240 dan Muslim no. 2162)
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Menjenguk orang sakit hukumnya fardhu kifayah. Kaum muslimin harus perhatian terhadap saudara semuslimnya. Jika salah satu dari mereka sudah ada yang menjenguknya, maka itu telah cukup. Dan bisa jadi hukumnya menjadi fardhu ‘ain, jika orang yang sedang sakit tersebut merupakan salah satu kerabat. Sehingga menjenguknya terhitung sebagai silaturahmi, dan menyambung silaturahmi hukumnya wajib. Maka, hukum menjenguk kerabat sakit hukumnya fardhu ‘ain.”
Dan banyak sekali perbuatan-perbuatan lain yang bisa kita lakukan untuk menyambung silaturahmi dengan kerabat kita, seperti mengiring jenazah, mendamaikan kerabat yang sedang berselisih, atau ikut serta dengan mereka saat mereka bergembira dan menghibur mereka saat sedang ditimpa musibah.
Baca Juga: Membuka Aib Saudara
Menyambung silaturahmi dengan ucapan
Pertama: Menyambung silaturahmi dengan cara mengajak kerabat kita kepada kebaikan dan kebenaran serta melarang mereka dari kemungkaran. Hal ini termasuk menyambung silaturahmi yang paling agung. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan Nabi-Nya yang yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَاَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الْاَقْرَبِيْنَ
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat.” (QS. Asy-Syu’ara’: 214)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,
فَواللَّهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بكَ رَجُلًا واحِدًا، خَيْرٌ لكَ مِن أنْ يَكونَ لكَ حُمْرُ النَّعَمِ
“Demi Allah, jikalau Allah memberi hidayah kepada satu orang dengan sebab dirimu, hal itu benar-benar lebih baik bagimu daripada unta-unta merah.” (HR. Bukhari no. 3701)
Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya perihal seorang lelaki yang memiliki kerabat, namun kerabatnya tersebut sering terjatuh ke dalam kemaksiatan. Lalu bagaimana caranya menyambung silaturahmi dengan mereka?
“Yang menjadi kewajiban laki-laki tersebut adalah menyambung silaturahmi dengan menyisihkan sebagian harta, jika mereka termasuk kaum fakir serta berbuat baik kepada mereka. Dan wajib juga bagi dirinya untuk selalu menasihati dan menunjukkan kerabatnya tersebut akan jalan kebaikan, mengajak mereka kepada kebaikan, serta melarang mereka dari kemungkaran, baik kerabatnya tersebut adalah orangtuanya, saudara kandungnya, pamannya, atau selain mereka. Sehingga wajib hukumnya untuk mendakwahkan mereka agar kembali kepada Allah Ta’ala, menasihati mereka, mengajak mereka kepada kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran dengan lemah lembut, penuh kasih sayang. Semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka karena sebab perbuatannya tersebut.”
Kedua: Silaturahmi dengan cara mendoakan mereka.
Doa termasuk cara yang paling kuat dan ampuh untuk menjaga dan menyambung silaturahmi dengan kerabat kita karena doa merupakan senjata bagi kaum mukmin. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan bahwa doa seorang muslim untuk saudaranya itu mustajab. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
دَعْوَةُ المَرْءِ المُسْلِمِ لأَخِيهِ بظَهْرِ الغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّما دَعَا لأَخِيهِ بخَيْرٍ، قالَ المَلَكُ المُوَكَّلُ بهِ: آمِينَ وَلَكَ بمِثْلٍ
“Doa seorang muslim untuk saudaranya yang tidak berada di hadapannya akan dikabulkan. Di atas kepalanya ada malaikat. Setiap dia berdoa untuk saudaranya dengan kebaikan, berkata malaikat yang bertugas dengannya, ‘Aamin dan kamu juga akan mendapatkan seperti itu juga.” (HR. Muslim no. 2733)
Berdoa juga merupakan salah satu cara menyambung silaturahmi dengan keluarga dan kerabat yang sudah meninggal. Para ulama bersepakat tentang bolehnya berdoa untuk mayit dan doa tersebut juga berguna bagi mereka yang telah meninggal. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إذا مات الإنسانُ انقطع عملُه إلا من ثلاثٍ ؛ صدقةٍ جاريةٍ ، أو علمٍ يُنتَفَعُ به ، أو ولدٍ صالحٍ يدْعو له
“Apabila manusia telah mati, terputuslah amalannya kecuali 3 perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim no. 1631)
Baca Juga: Mukmin adalah Cermin bagi Saudaranya (Bag. 1)
Menyambung silaturahmi dengan mengeluarkan harta
Jika Allah Ta’ala memberikan keluasan harta kepada seseorang, maka ini merupakan kesempatan emas yang harus ia ambil, tidak perlu menunggu untuk disebut ‘kaya’ ‘tajir’ untuk bisa mengeluarkan harta membantu kerabat yang sedang ditimpa kesusahan. Cukuplah ketika Allah Ta’ala memberikan keluasan harta kepada seseorang, maka ia bisa membantu kerabatnya.
Sungguh amalan ini merupakan amalan yang mulia, karena selain mendapatkan pahala sedekah, pelakunya juga ditulis sebagai hamba yang menyambung silaturahmi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الصَّدقةُ على المسكينِ صدقةٌ وعلى القريبِ صدقتان صدقةٌ وصِلةٌ
“Sedekah untuk orang miskin, nilainya hanya satu, yaitu sedekah. Sementara sedekah untuk kerabat, nilainya dua: sedekah dan silaturahmi.” (HR. Tirmidzi no. 658, Nasa’i no. 2582, Ibnu Majah no. 1844, dan Ahmad no. 16279)
Allah Ta’ala juga memprioritaskan kerabat dekat seseorang di dalam perkara sedekah dan nafkah. Allah Ta’ala berfirman,
يَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ ۗ قُلْ مَآ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang harus mereka infakkan. Katakanlah, ‘Harta apa saja yang kamu infakkan, hendaknya diperuntukkan bagi kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan.’ Dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 215)
Di dalam sebuah hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إنَّكَ أنْ تَذَرَ ورَثَتَكَ أغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِن أنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ، وإنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بهَا وجْهَ اللَّهِ إلَّا أُجِرْتَ، حتَّى ما تَجْعَلُ في فِي امْرَأَتِكَ
“Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang akan meminta-minta kepada manusia. Dan kamu tidak menafkahkan suatu nafkah pun untuk mencari keridaan Allah, kecuali kamu akan mendapatkan pahala karena nafkahmu itu. Sampai-sampai sesuap makanan yang kamu masukkan ke mulut istrimu (terhitung sedekah).” (HR. Bukhari no. 6375)
Menyambung silaturahmi dengan mengeluarkan harta memiliki beragam bentuk. Bisa dengan memberikan nafkah untuk mereka, menyalurkan zakat wajib kita kepada mereka (para ulama memberikan perincian tentang siapa kerabat dan keluarga yang boleh menerima zakat kita dan siapa yang tidak boleh menerima), bisa juga dengan bersedekah, memberikan hadiah, memberikan wasiat, dan lain sebagainya. Wallahu a’lam bisshowaab.
[Bersambung]
Baca Juga:
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel asli: https://muslim.or.id/75344-fikih-silaturahmi-bag-4-sarana-menyambung-silaturahmi.html